Saturday, June 18, 2005

KAN SEKARANG SUDAH BISA

Di sebuah kampung nelayan, pada suatu pagi, seorang profesor bisnis
yang sedang berlibur bertemu dengan seorang nelayan yang tengah
membereskan hasil tangkapannya. Sang profesor tidak tahan untuk tidak
menyapanya, "Hai, kenapa kamu selesai bekerja sepagi ini?" "Saya sudah
menangkap cukup banyak ikan Pak," jawab nelayan itu, "cukup untuk
dimakan sekeluarga dan masih ada sisa untuk dijual."

"Lalu, setelah ini kamu mau apa?" tanya profesor itu lagi. Jawab sang
nelayan, "Habis ini saya mau makan siang dengan istri dan anak-anak
saya, setelah itu tidur siang sebentar, lalu saya akan bermain dengan
anak-anak. Setelah makan malam, saya akan ke warung, bersenda gurau
sambil bermain gitar bersama teman-teman."

"Dengarkan kawan," ujar sang profesor, "jika kamu tetap melaut sampai
sore, kamu bisa mendapat dua kali lipat hasil tangkapan. Kamu bisa
menjual ikan lebih banyak, menyimpan uangnya, dan setelah sembilan
bulan kamu akan mampu membeli perahu baru yang lebih besar. Lalu, kamu
akan bisa menangkap ikan empat kali lebih banyak. Coba pikir, berapa
banyak uang yang bakal kamu dapat!"

Lanjut profesor, "Dalam satu dua tahun kamu akan bisa membeli satu
kapal lagi, dan kamu bisa menggaji banyak orang. Jika kamu mengikuti
konsep bisnis ini, dalam lima tahun kamu akan menjadi juragan armada
nelayan yang besar. Coba bayangkan!"

"Kalau sudah sebesar itu, sebaiknya kamu memindah kantormu ke ibu kota.
Beberapa tahun kemudian perusahaanmu bisa 'go public', kamu bisa jadi
investor mayoritas. Dijamin, kamu akan jadi jutawan besar! Percayalah!
Aku ini guru besar di sekolah bisnis terkenal, aku ini ahlinya hal-hal
beginian!"

Dengan takjub, nelayan itu mendengarkan penuturan profesor yang penuh
semangat itu. Ketika profesor selesai menjelaskan, sang nelayan
bertanya, "Tapi Pak Profesor, apa yang bisa saya perbuat dengan uang
sebanyak itu?"

Ups! Anehnya sang profesor belum memikirkan konsep bisnisnya sejauh
itu. Cepat-cepat dia mereka-reka apa yang seseorang bisa lakukan dengan
uang sebanyak itu.

"Kawan! Kalau kamu jadi jutawan, kamu bisa pensiun. Ya! Pensiun dini
seumur hidup! Kamu bisa membeli villa mungil di desa pantai yang indah
seperti ini, dan membeli sebuah perahu untuk berwisata laut pada pagi
hari. Kamu bisa makan bersama keluargamu setiap hari, bersantai-santai
tanpa khawatir apa pun. Kamu punya banyak waktu bersama anak-anakmu,
dan setelah makan malam kamu bisa main gitar dengan teman-temanmu di
warung. Yeaaa, dengan uang sebanyak itu, kamu bisa pensiun dan hidupmu
jadi mudah!

"Tapi, Pak Profesor, kan sekarang ini saya sudah bisa begitu…," lirih
sang nelayan dengan lugunya.

Kenapa kita percaya bahwa kita harus bekerja begitu keras dan menjadi
kaya raya terlebih dahulu, baru kita bisa merasa berkecukupan? Apakah
ada "tujuan yang lebih mulia" dari apa yang Anda lakoni saat ini?
Apakah itu benar tujuan mulia atau sekadar dalih rasa takut untuk
menjadi apa adanya? Untuk merasa berkecukupan, apa sekarang ini tidak
bisa?

Be Good Be Happy!

Wednesday, June 08, 2005

Maafkan Bila Aku Mengeluh

Hari ini, di sebuah bus, aku melihat seorang gadis cantik dengan rambut pirang. Aku iri melihatnya. Dia tampak begitu ceria, dan kuharap aku pun sama. Tiba-tiba dia terhuyung-huyung berjalan. Dia mempunyai satu kaki saja, dan memakai tongkat kayu. Namun ketika dia lewat - tersenyum.

Oh Tuhan, maafkan aku bila aku mengeluh. Aku punya dua kaki. Dunia ini milikku.

Aku berhenti untuk membeli bunga lili. Anak laki-laki penjualnya begitu mempesona. Aku berbicara padanya. Dia tampak begitu gembira. Seandainya aku terlambat, tidaklah apa-apa.Ketika aku pergi, dia berkata, "Terima kasih.Engkau sudah begitu baik. Menyenangkan berbicara dengan orang sepertimu. Lihat saya buta.

"Oh Tuhan, maafkan aku bila aku mengeluh. Aku punya dua mata. Dunia ini milikku.

Lalu, sementara berjalan. Aku melihat seorang anakdengan bola mata biru. Dia berdiri dan melihat teman-temannya bermain. Dia tidak tahu apa yang bisa dilakukannya. Aku berhenti sejenak, lalu berkata, "Mengapaengkau tidak bermain dengan yang lain, nak ?"Dia memandang ke depan tanpa bersuara, lalu akutahu dia tidak bisa mendengar.

Oh Tuhan, maafkan aku bila aku mengeluh. Aku punya dua telinga. Dunia ini milikku. Dengan dua kaki untuk membawa aku ke mana aku mau. Dengan dua mata untuk memandang mentari terbenam. Dengan dua telinga untuk mendengar apa yang inginkudengar.

Oh Tuhan, maafkan aku bila aku mengeluh.

-Anonymous-

Sunday, June 05, 2005

Children

Anak-anakmu adalah bukan anak-anakmu.
Mereka adalah putra-putri kehidupan,
Yang merindukan dirinya sendiri.
Mereka datang melaluimu, namun tidak darimu.
Meskipun mereka bersamamu,
Mereka bukanlah milikmu.
Engkau boleh memberikan cintamu pada mereka,
Tapi tidak pemikiranmu.
Karena mereka memiliki pemikiran mereka sendiri.
Engkau boleh berusaha menyamai mereka,
Namun janganlah berusaha membuat mereka
Sama denganmu.

-Khalil Gibran-

Complain

"Aku mengeluh tidak punya sepatu sampai aku bertemu seseorang yang tidak punya kaki."

Wednesday, June 01, 2005

The Awaken One

Disebutkan bahwa segera sesudah pencerahannya, Buddha bertemu dengan seorang laki-laki di jalan yg terpesona dengan pancaran yg luar biasa dan kedamaian dari kehadirannya. Orang itu berhenti dan bertanya, "Temanku, engkau ini siapa? Apakah engkau mahluk surga, atau dewa?"

"Bukan," jawab Buddha.
"Wah, kalau begitu, engkau gandarwa atau yaksa?"
Lagi Buddha menjawab, "Bukan."
"Apakah engkau seorang manusia?"
"Bukan."
"Jika demikian, Temanku, engkau siapa?"

Buddha menjawab, "Aku orang yg telah bangun."

Buddhist

Life and Death

Ada sebuah kisah di zaman Buddha, tentang seorang wanita muda bernama Kisa Gotami yg mengalami serangkaian tragedi. Pertama, suaminya dan anggota-anggota keluarga dekat lainnya meninggal dunia. Yang tertinggal bersamanya hanya seorang anak laki-lakinya. Lalu, anak itu pun terserang penyakit dan meninggal juga. Ia meratap dgn sedih, membawa jasad anaknya kemana-mana untuk meminta pertolongan, mendapatkan obat-obatan, agar membuatnya hidup kembali, tetapi tentu saja, tak seorang pun yg dapat menolongnya. Akhirnya, seseorang menyarankannya pergi kepada Buddha yg tengah mengajar di dekat hutan kecil. Wanita itu menghampiri Buddha, menangis sedih, dan berkata, "Guru yg mulia, tolonglah agar anak laki-lakiku ini hidup kembali." Buddha menjawab, "Aku akan lakukan itu, tetapi pertama-tama engkau harus berbuat sesuatu untukku, Kisa Gotami. Engkau harus pergi ke desa, dan membawakan untukku segenggam biji lada, dan dengan itu aku akan membuat obat untuk anakmu. Ada satu syarat yg penting," ujar Buddha, "Biji lada itu harus berasal dari rumah yg tak satu pun ada anggota keluarganya yg mati, yg tak satu pun pernah kehilangan anak atau orangtua, suami, istri, atau teman."

Kisa Gotami berlari ke desa dan bergegas mengunjungi rumah pertama, meminta biji lada. "Tolonglah, tolonglah, bolehkah aku memilikinya?" Dan orang-orang yg melihat kesedihannya segera menaggapinya. Tetapi kemudian ia bertanya, "Adakah seseorang di rumah ini yg pernah mati? Apakah itu ibunya, atau anak perempuannya, atau ayahnya, atau anak laki-lakinya?" Mereka menjawab, "Ya. Kami kedatangan kematian di tahun baru lalu." Maka, Kisa Gotami pergi dan berlari ke rumah berikutnya. Lagi mereka memberikan biji lada kepadanya dan lagi wanita itu bertanya, "Apakah ada seseorang di sini yg telah mati?" Kali ini bibinya gadis itu. Dan di rumah berikutnya, anak perempuannya yg mati. Dan begitulah, ia pergi dari rumah ke rumah di desa itu. Tak satu pun rumah tangga yg ia temui yg tak pernah mengenal kematian.

Akhirnya, Kisa Gotami terduduk dengan sedih dan sadar bahwa yg terjadi padanya dan anaknya terjadi juga pada orang lain. Siapa yg lahir akan mati juga. Ia membawa jasad anaknya kembali kepada Buddha. Di sana anaknya dikubur dengan upacara yg layak. Lalu ia bersujud kepada Buddha dan memohon pengajarannya yg membawanya pada kebijaksanaan dan terlindung di alam kelahiran dan kematian ini, dan ia sendiri melaksanakan ajaran-ajaran tersebut dengan sepenuh hati dan menjadi seorang yogi yg besar dan seorang wanita yg bijaksana

Early Buddhist

Visitors

Pada abad yang lalu, seorang turis dari Amerika Serikat mengunjungi seorang Rabbi Polandia yang termashyur, Hafez Hayyim.

Ia terheran-heran melihat rumah sang rabbi hanya sebuah ruangan sederhana yang diisi dengan buku-buku. Perabot yg ada cuma sebuah meja dan sebuah bangku.

"Rabbi, dimanakah perabotan rumahmu?" tanya sang turis.
"Dimanakah milik kamu sendiri?" jawab Hafez.
"Milikku? Tetapi, aku hanya seorang pengunjung disini."
"Begitu juga aku," ujar sang rabbi.

Chassid