Thursday, December 15, 2005

How can we be happy ?

When the Buddha spoke to people who were interested in happiness— which some people are — they said, “How can we be happy?” He said, “Well, one way is to understand the law of karma. If you cultivate generosity, kindness, awareness and giving. you will be happy because you’ll learn that it’s pleasant, and also the way that karma works is that your world will become more of a cycling rather than fear and holding.You will discover happiness in this generosity.” He said, “If you’re kind to people, if you maintain a basic level of non-harming — what’s called Virtue — if your words are honest andhelpful, if your actions are truthful and helpful and based on kindness,your world will start to become kind. Inside you’ll feel kinder and happier; outside people will treat you that way. The law of Karma is one of the first things you observe if you practice mindfulness and awareness.This is one thing you can discover through practice.

Siddharta Gotama

Belief

There’s a story of a pious man who very much believed in God.
One day, at the place where he dwelled, it started to rain heavily and it
rained and rained, and a big flood came. He went from the first floor to
the second floor of his house and the water rose until he was on the roof.
Someone rowed by and said, “Get in, my friend, I’ll save you; the water
is rising.” He said, “No, I believe in God; I really have faith; I believe.”
So he sent the rowboat away.

It rained more and the water got all the
way up to his neck. Another rowboat came by, picking up people. “Get
in, my friend, I’ll save you.” “No, thank you. I have trust. I have lived
my whole life. I believe in God; no need.” The rowboat went away. It
got up to his nose so he could just barely breathe. And a helicopter came
over and lowered down a rope.“Come up,myfriend, I’ll save you.” “No,
thank you. I believe, I have faith, I trust.” So the helicopter went away.

It rained some more and he drowned. He goes to heaven after that.
Soon after that he gets an interview with God. So he goes in, and he sits
down and pays his respects, and then he says, “You know, I just don’t
understand. Here I was your faithful servant. I was so trusting, and
prayed, and so believing, and I just don’t understand what happened to
me.” And he recounts all of his circumstances. “Where were you when
I needed you?”

God looks up and kind of scratches his head and says,
“I don’t understand it either. I sent you two rowboats and a helicopter.”

Tuesday, December 06, 2005

INGAT PERATURAN NO. 5

Suatu hari Sang Guru sedang rapat dengan seorang rekan bisnisnya.
Di tengah-tengah rapat, tiba-tiba seorang anak buah Sang Guru masuk ke
ruang rapat sambil tersengal-sengal dan dengan kalut dia melaporkan
sesuatu kepada Sang Guru.
Sang Guru menjawab: "Ingat peraturan nomor 5."
Mendengar ini, anak buahnya kontan jadi tenang, meminta maaf, dan mohon diri.
Sebentar kemudian, seorang anak buah lainnya dari Sang Guru
menginterupsi rapat dan dengan resah mengeluhkan suatu masalah yang
tampaknya membuatnya berbeban berat.
Sang Guru menjawab: "Ingat peraturan nomor 5." Mendengar ini, anak
buahnya kontan jadi tenang, meminta maaf, dan mohon diri.
Sejenak berlalu, lagi-lagi seorang anak buah yang lain dari Sang Guru
menerobos ke ruang rapat dan dengan penuh kekesalan menyampaikan uneg-
unegnya kepada Sang Guru.
Sang Guru menjawab: "Ingat peraturan nomor 5." Mendengar ini, anak
buahnya kontan jadi tenang, meminta maaf, dan mohon diri.
Menyaksikan peristiwa itu, rekan bisnis Sang Guru tidak tahan lagi
untuk mengungkapkan rasa penasarannya.
Ia bertanya: "Apa sih peraturan nomor 5 itu?"
Sang Guru menjawab: "JANGAN SERIUS-SERIUS AMAT LAH."
"Ooo, itu peraturan yang bagus," ujar rekan bisnisnya seraya mengangguk- angguk,
"lalu, apa bunyi peraturan-peraturan lainnya?"
"Nggak ada sih, itu aja!" sahut Sang Guru sambil tersenyum lebar.
Cerita di atas mengajarkan kepada kita banyak hal mengenai kelapangan
hati. Dalam keseharian hidup, kita senantiasa berkecimpung dengan hal-
hal yang membuat kita cemas dan kesal. Andaikata kita bisa meletakkan
setiap permasalahan kita dalam perspektif yang benar-benar esensial dan
bernilai, kita akan bisa berpikir dengan lebih jernih.
Sebuah studi menunjukkan bahwa "penyebab kecemasan" orang-orang adalah:
- hal-hal yang tak pernah terjadi: 40%
- hal-hal yang silam dan tak bisa diubah: 30%
- perasaan takut sakit: 12%
- hal-hal sepele atau kurang beralasan: 10%
- masalah yang nyata/betulan: 8%
Jadi, survei membuktikan: 92% adalah kecemasan semu nan sia-sia!
Seiring dengan tumbuhnya kedewasaan spiritual kita, kita akan semakin
menyadari kenyataan bahwa sehebat apa pun, kita dan segala atribut kita
bukanlah pusat dari alam semesta. Dengan pemahaman ini, tatkala kita
menghadapi kecemasan atau kekesalan, kita bisa mengingatkan diri bahwa
apa yang terjadi pada kita bukanlah hal yang bersifat "personal".
Alam dan kehidupan berjalan secara tidak memihak. Semakin kita mampu
menyelaraskan diri dengan jalannya kehidupan, akan semakin damai dan
bahagialah kita. Kalau kita senantiasa ingat "peraturan nomor 5", kita
akan lebih mudah untuk terus bangkit dan melenggang dalam segala
terpaan hidup.
Be happy!
Illuminata ini disumbangkan oleh: HANDAKA VIJJANANDA di BANGKOK.
Untuk mendapatkan Illuminata secara teratur dan gratis, kirimkan email
kosong ke: ehipassiko_foundation-subscribe@yahoogroups.com.
Anda akan segera mendapatkan email dari yahoo yang menanyakan konfirmasi Anda;
silakan "reply dan send" dalam tempo tidak lebih dari 7 hari.
Illuminata disajikan oleh Ehipassiko Foundation, suatu yayasan
nonprofit nonsektarian yang bermisi mewujudkan Belas Kasih dan
Kebijaksanaan melalui penerbitan buku, media elektronik, ceramah,
dan program pelajar asuh. Buku-buku Ehipassiko tersedia di Gramedia atau
dapat dibeli online di www.karaniya.com. Keuntungan layanan online:
hemat 10%, bebas ongkos kirim, dan praktis.

Sunday, November 27, 2005

Life

* Hidup adalah kesempatan, gunakan itu.

* Hidup adalah keindahan, kagumi itu.

* Hidup adalah mimpi, wujudkan itu.

* Hidup adalah tantangan, hadapi itu.

* Hidup adalah kewajiban, penuhi itu.

* Hidup adalah pertandingan, jalani itu.

* Hidup adalah mahal, jaga itu.

* Hidup adalah kekayaan, simpan itu.

* Hidup adalah kasih, nikmati itu.

* Hidup adalah janji, genapi itu.

* Hidup adalah kesusahan, atasi itu.

* Hidup adalah nyanyian, nyanyikan itu.

* Hidup adalah perjuangan, terima itu.

* Hidup adalah tragedi, hadapi itu.

* Hidup adalah petualangan, lewati itu.

* Hidup adalah keberuntungan, laksanakan itu.

* Hidup adalah terlalu berharga, jangan rusakkan itu.

* Hidup adalah hidup, berjuanglah untuk itu.

"We can do no great things, only small things with great love. "
--Mother Teresa

Thursday, November 10, 2005

BISA MATI KAPAN SAJA

Seorang pria mendatangi Sang Guru, "Guru, saya sudah bosan hidup. Sudah
jenuh betul. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Apa pun
yang saya lakukan selalu berantakan. Saya ingin mati saja.

"Sang Guru tersenyum, "Oh, kamu sakit." "Tidak Guru, saya tidak sakit.
Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin
mati."

Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, Sang Guru meneruskan, "Kamu
sakit. Dan penyakitmu itu dinamakan Alergi Hidup."

Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Kemudian,
tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma
kehidupan. Sungai kehidupan ini mengalir terus, tetapi kita
menginginkan status-quo. Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut
mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit.
Resistensi kita, penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan
membuat kita sakit. Yang namanya usaha, pasti ada pasang-surutnya.
Dalam hal berumah tangga, bentrokan-bentrokan kecil itu lumrah.
Persahabatan pun tidak selalu langgeng. Apa sih yang langgeng, yang
abadi dalam hidup ini? Kita tidak menyadari sifat kehidupan. Kita ingin
mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa, dan
menderita.

"Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu ingin sembuh dan bersedia
mengikuti petunjukku," kata Sang Guru. "Tidak Guru, tidak! Saya sudah
betul-betul bosan. Saya tidak ingin hidup," pria itu menolak tawaran
sang guru.

"Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?" "Ya,
memang saya sudah bosan hidup." "Baiklah, kalau begitu maumu. Ambillah
botol obat ini. Setengah botol diminum malam ini, setengah botol lagi
besok petang. Besok malam kau akan mati dengan tenang."

Giliran pria itu jadi bingung. Setiap guru yang ia datangi selama ini
selalu berupaya untuk memberikannya semangat hidup. Yang satu ini aneh.
Ia malah menawarkan racun. Tetapi karena ia memang sudah betul-betul
jemu, ia menerimanya dengan senang hati. Sesampai di rumah, ia langsung
menenggak setengah botol "obat" dari Sang Guru. Dan... ia merasakan
ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya... Begitu santai!
Tinggal 1 malam, 1 hari, dan ia akan mati. Ia akan terbebaskan dari
segala macam masalah. Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam
bersama keluarga di restoran Jepang. Sesuatu yang sudah tidak pernah ia
lakukan selama beberapa tahun terakhir.

Pikir-pikir malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis.
Sambil makan, ia bersenda gurau. Suasananya santai banget! Sebelum
tidur, ia mencium istrinya dan berbisik, "Sayang, aku mencintaimu."
Esoknya bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar.
Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya dan ia tergerak untuk melakukan
jalan pagi. Pulang ke rumah setengah jam kemudian, ia melihat istrinya
masih tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat 2
cangkir kopi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya. Karena pagi
itu adalah pagi terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Sang
istri pun merasa aneh sekali. Selama ini, mungkin aku salah, "Maafkan
aku, sayang."

Di kantor, ia menyapa setiap orang. Stafnya pun bingung, "Hari ini boss
kita kok aneh ya?" Dan sikap mereka pun langsung berubah. Mereka
menjadi lembut. Karena siang itu adalah siang terakhir, ia ingin
meninggalkan kenangan manis! Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya
berubah. Ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan apresiatif terhadap
perbedaan pendapat. Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai
menikmatinya. Pulang ke rumah petang itu, ia menemukan istri tercinta
menungguinya di beranda. Kali ini justru sang istri yang memberikan
ciuman kepadanya, "Sayang, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini
aku selalu merepotkan kamu." Anak-anak pun tidak ingin
ketinggalan, "Pa, maafkan kami semua. Selama ini Papa selalu stress
karena perilaku kami."

Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Seketika hidup menjadi
sangat indah. Ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi
bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum? Ia mendatangi Sang
Guru lagi. Melihat wajah pria itu, Sang Guru langsung mengetahui apa
yang telah terjadi, "Buang saja botol itu. Isinya air biasa kok. Kau
sudah sembuh! Jika kau hidup dalam kekinian, jika kau hidup dengan
kesadaran bahwa engkau bisa mati kapan saja, kau akan menikmati setiap
detik kehidupan. Hilangkan egomu, keangkuhanmu. Jadilah lembut,
selembut air, dan mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau tidak akan
bosan. Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah jalan
menuju ketenangan. Itulah kunci kebahagiaan."

Pria itu mengucapkan terima kasih, lalu pulang untuk mengulangi
pengalaman sehari terakhirnya. Ia terus mengalir. Kini ia selalu hidup
dengan kesadaran bahwa ia bisa mati kapan saja. Itulah sebabnya, ia
selalu tenang, selalu bahagia!

Tunggu. Kita semua SUDAH TAHU bahwa kita BISA MATI KAPAN SAJA. Tapi
masalahnya: apakah kita SELALU SADAR bahwa kita BISA MATI KAPAN SAJA?
Nah!

Be happy!

Thursday, September 01, 2005

Love Is Stronger . . .

Having a goal based on love is the greatest life insurance in the world.

If you had asked my dad why he got up in the morning, you would have found his answer disarmingly simple: "To make my wife happy."

Mom and Dad met when they were nine. Every day before school, they met on a park bench with their homework. Mom corrected Dad's English and he did the same with her math. Upon graduation, their teachers said that the two of them were the best "student" in the school. Note the singular!

They took their time building their relationship, even though Dad always knew she was the girl for him. Their first kiss occurred when they were 17, and their romance continued to grow into their 80s.

Just how much power their relationship created was brought to light in 1964. The doctor told Dad he had cancer and estimated that he had six months to one year left at the most. "Sorry to disagree with you, Doc," my father said. "But I'll tell you how long I have. One day longer than my wife. I love her too much to leave the planet without her."

And so it was, to the amazement of everyone who didn't really know this love-matched pair, that Mom passed away at the age of 85 and Dad followed one year later when he was 86. Near the end, he told my brothers and me that those 17 years were the best six months he ever spent.
To the wonderful doctors and nurses at the Department of Veterans' Affairs Medical Center at Long Beach, he was a walking miracle. They kept a loving watch on him and just couldn't understand how a body so riddled with cancer could continue to function so well.

My dad's explanation was simple. He informed them that he had been a medic in World War I and saw amputated arms and legs, and he had noticed that none of them could think. So he decided he would tell his body how to behave. Once, as he stood up and it was evident he felt a stabbing pain, he looked down at his chest and shouted, "Shut up! We're having a party here."

Two days before he left us he said, "Boys, I'll be with your mother very soon and someday, some place we'll all be together again. But take your time about joining us; your mother and I have a lot of catching up to do."

It is said that love is stronger than prison walls. Dad proved it was a heck of a lot stronger than tiny cancer cells. Bob, George and I are still here, armed with Dad's final gift.

A goal, a love and a dream give you total control over your body and your life.


By John Wayne Schlatter


Tuesday, August 30, 2005

Samatha or Vipassana ?

A rare blessing
by Danai Chanchaochai, Bangkok Post, Aug 18, 2005

As humans, we have the chance to practice all four foundations of
mindfulness

Bangkok, Thailand -- This week we have yet another important
question for Phra Acharn Manop Upasamo, with an answer that reminds us
why Vipassana meditation is so important in the practice of Buddhism.

Question: You said there are two main types of meditation: deep
concentration (Samatha) and mindfulness (Vipassana). Why did Lord
Buddha say that Vipassana is "the only way" to escape the endless
cycle of suffering?

Answer: Because deep concentration meditation will not lead you to
any wisdom or insight. More worrisome though, is the fact that people
who achieve an advanced level of deep concentration meditation lessen
their chances of developing real insight that leads to enlightenment.

First, advanced deep concentration meditation means your mind will
reach the state of jhana or a simple, non-questing, tranquil state of
mind. When Samatha practitioners reach this stage in their meditation,
they feel completely detached and unaffected by sensations and
feelings of the ordinary world, and they remain in that state for a
long time. When your mind is in this dormant mode, naturally you are
not likely to learn anything.

On the other hand, Vipassana, mindfulness meditation, is just that.
Your mind is totally awake and you are being continuously mindful of
what happens to your body and your mind. In other words, you are
learning something about your body and your mind with every
observation you make, in every little moment of your life.

Now, what's next? If you were to continue to practise Samatha
meditation throughout your life and reached the advanced level of the
simple, non-questing, quiet state of mind, you would be reborn as an
Arupa Brahmin or Asanyata Brahmin, both a type of higher being. These
two types of Brahmin have two distinct characters: they represent the
tranquil state of mind with no physical body and have a very, very
long life.
The state of being: having no substantial body form like that of humans
beings means that they would be unable to practice Vipassana. This is
because to practice mindfulness, we need to be able to practice all four
foundations: body, feelings, mind and mind objects. So the life of a Brahmin
is nothing more than mere existence. Just as when they practiced Samatha,
they can learn nothing.
Lord Buddha foresaw that his doctrine would survive no more than 5,000 years.
But a Brahmin's life is much longer than that.
This also translates into their missing out on the opportunity to learn how
to practise Vipassana meditation and permanently escape from the cycle of birth,
and in so doing, from rebirth and all suffering.
A good example is that of Lord Buddha's former teachers, Arara Dabos and
Utaka Dabos. After Prince Sidhartha was ordained and went in search of
how to end all suffering, he went to study in many schools, the last being
that of these two teachers who were prescribing deep concentration meditation
as "the way." Because of his strong determination, Prince Sidhartha was able
to reach the highest level of jhana but felt something was still missing.
He found that he could not completely rid himself of the kilesas,
or mental defilements, by simply practicing deep concentration meditation.
He could only suppress them by this form of meditation. But once out of that
trance state of mind, all the suffering of life remained the same.
Therefore, he set out on his own and, by trial and error, concluded that
mindfulness meditation was the answer and eventually, by this method,
achieved enlightenment.

Once enlightened, Lord Buddha thought of his two
teachers. He wanted to go back and teach them - to help them escape all
suffering. However, he discovered that they had already died and were reborn
as Brahmin. It was then that Lord Buddha expressed his sorrow for both of them,
for they could not be reached or taught. By the time their life cycles as Brahmin
ended and they were ready to be reborn again, Lord Buddha's religion would
already cease to exist.

Therefore, all of us should be happy that we were
born as human beings in this life, and having discovered the truth of Buddhism,
been given the opportunity to learn and practice Vipassana. Lord Buddha said
these are the world's rarest blessings. Why? Because as a human being, we have
the chance to practice all four foundations of mindfulness. In this respect we
are better off than those who are born in the same state as Lord Buddha's two
teachers.

So use your four foundations of mindfulness well. The path to
dhamma made possible by Vipassana arises out of the accurate observation of
how we see, smell, hear, taste, touch and feel. From right observation comes
right understanding of cause and effect. Our ears hear a voice and the mind
determines what it is, generating an emotional response that results in a
physical reaction. If we can step back with a "detached" attitude and observe
what's going on in a non-judgmental fashion, then we are practicing Vipassana.
That is a knowing state of mind, and our first step to eventual enlightenment.
So please, maintain your meditation. You have the rest of your life to practice.
--------------------
The teachings of Phra Acharn Manop Upasamo are transcribed and
translated for Dhamma Moments by Nashara Siamwalla

Saturday, July 09, 2005

Digging in the Dung by Ajahn Brahm


When I was a schoolteacher, my attention was drawn to the student in my class of thirty who came bottom in the end-of-year exams. I could see that he was depressed as a result of his performance, so I took him aside.

I said to him: 'Someone has to come thirtieth in a class of thirty. This year, it happens to be you who has made the heroic sacrifice, so that none of your friends have to suffer the ignominy of being bottom of the class. You are so kind, so compassionate. You deserve a medal.'

We both knew that what I was saying was ridiculous, but he grinned. He didn't take it as such an end-of-the-world event any more.

He did much better the next year, when it was someone else's turn to make the heroic sacrifice.

Unpleasant things, like coming bottom of our class, happen in life. They happen to everyone. The only difference between a happy person and one who gets depressed is how they respond to disasters.

Imagine you have just had a wonderful afternoon at the beach with a friend. When you return home, you find a huge truckload of dung has been dumped right in front of your door. There are three things to know about this truckload of dung:

  1. You did not order it. It's not your fault.
  2. You're stuck with it. No one saw who dumped it, so you cannot call anyone to take it away.
  3. It is filthy and offensive, and its stench fills your whole house. It is almost impossible to endure.

In this metaphor, the truckload of dung in front of the house stands for the traumatic experiences that are dumped on us in life. As with the truckload of dung, there are three things to know about tragedy in our life:

  1. We did not order it. We say 'Why me?'
  2. We're stuck with it. No one, not even our best friends, can take it away (though they may try).
  3. It is so awful, such a destroyer of our happiness, and its pain fills our whole life. It is almost impossible to endure.

There are two ways of responding to being stuck with a truckload of dung. The first way is to carry the dung around with us. We put some in our pockets, some in our bags, and some up our shirts. We even put some down our pants. We find when we carry dung around, we lose a lot of friends! Even best friends don't seem to be around so often.

'Carrying around the dung' is a metaphor for sinking into depression, negativity, or anger. It is a natural and understandable response to adversity. But we lose a lot of friends, because it is also natural and understandable that our friends don't like being around us when we're so depressed. Moreover, the pile of dung gets no less, but the smell gets worse as it ripens.

Fortunately, there's a second way. When we are dumped with a truckload of dung, we heave a sigh, and then get down to work. Out come the wheelbarrow, the fork, and the spade. We fork the dung into the barrow, wheel it around the back of the house, and dig it into the garden. This is tiring and difficult work, but we know there's no other option. Sometimes, all we can manage is half a barrow a day. We're doing something about the problem, rather than complaining our way into depression. Day after day we dig in the dung. Day after day, the pile gets smaller. Sometimes it takes several years, but the morning does come when we see that the dung in front of our house is all gone. Furthermore, a miracle has happened in another part of our house. The flowers in our garden are bursting out in a richness of colour all over the place. Their fragrance wafts down the street so that the neighbours, and even passers-by, smile in delight. Then the fruit tree in the corner is nearly falling over, it's so heavy with fruit. And the fruit is so sweet; you can't buy anything like it. There's so much of it that we are able to share it with our neighbours. Even passers-by get a delicious taste of the miracle fruit.

'Digging in the dung' is a metaphor for welcoming the tragedies as fertilizer for life. It is work that we have to do alone: no one can help us here. But by digging it into the garden of our heart, day by day, the pile of pain gets less. It may take us several years, but the morning does come when we see no more pain in our life and, in our heart, a miracle has happened. Flowers of kindness are bursting out all over the place, and the fragrance of love wafts way down our street, to our neighbours, to our relations, and even to passers-by. Then our wisdom tree in the corner is bending down to us, loaded with sweet insights into the nature of life. We share those delicious fruits freely, even with the passers-by, without ever planning to.

When we have known tragic pain, learnt its lesson, and grown our garden, then we can put our arms around another in deep tragedy and say, softly, 'I know.' They realize we do understand. Compassion begins. We show them the wheelbarrow, the fork, and the spade, and boundless encouragement. If we haven't grown our own garden yet, this can't be done.

I have known many monks who are skilled in meditation, who are peaceful, composed and serene in adversity. But only a few have become great teachers. I often wondered why.

It seems to me now that those monks who had a relatively easy time of it, who had little dung to dig in, were the ones who didn't become teachers. It was the monks who had the enormous difficulties, dug them in quietly, and came through with a rich garden that became great teachers. They all had wisdom, serenity and compassion; but those with more dung had more to share with the world. My teacher, Ajahn Chah, who for me was the pinnacle of all teachers, must have had a whole trucking company line up with their dung at his door, in his early life.

Perhaps the moral of this story is that if you want to be of service to the world, if you wish to follow the path of compassion, then the next time a tragedy occurs in your life, you may say, 'Whoopee! More fertilizer for my garden!'

This article was excerpted from Opening The Door Of Your Heart, ?2004, by Ajahn Brahm. (Forthcoming North American edition, "Who Ordered this Truckload of Dung?: Inspiring Wisdom for Welcoming Life's Difficulties" published by Wisdom Publications, www.wisdompubs.org )

Saturday, June 18, 2005

KAN SEKARANG SUDAH BISA

Di sebuah kampung nelayan, pada suatu pagi, seorang profesor bisnis
yang sedang berlibur bertemu dengan seorang nelayan yang tengah
membereskan hasil tangkapannya. Sang profesor tidak tahan untuk tidak
menyapanya, "Hai, kenapa kamu selesai bekerja sepagi ini?" "Saya sudah
menangkap cukup banyak ikan Pak," jawab nelayan itu, "cukup untuk
dimakan sekeluarga dan masih ada sisa untuk dijual."

"Lalu, setelah ini kamu mau apa?" tanya profesor itu lagi. Jawab sang
nelayan, "Habis ini saya mau makan siang dengan istri dan anak-anak
saya, setelah itu tidur siang sebentar, lalu saya akan bermain dengan
anak-anak. Setelah makan malam, saya akan ke warung, bersenda gurau
sambil bermain gitar bersama teman-teman."

"Dengarkan kawan," ujar sang profesor, "jika kamu tetap melaut sampai
sore, kamu bisa mendapat dua kali lipat hasil tangkapan. Kamu bisa
menjual ikan lebih banyak, menyimpan uangnya, dan setelah sembilan
bulan kamu akan mampu membeli perahu baru yang lebih besar. Lalu, kamu
akan bisa menangkap ikan empat kali lebih banyak. Coba pikir, berapa
banyak uang yang bakal kamu dapat!"

Lanjut profesor, "Dalam satu dua tahun kamu akan bisa membeli satu
kapal lagi, dan kamu bisa menggaji banyak orang. Jika kamu mengikuti
konsep bisnis ini, dalam lima tahun kamu akan menjadi juragan armada
nelayan yang besar. Coba bayangkan!"

"Kalau sudah sebesar itu, sebaiknya kamu memindah kantormu ke ibu kota.
Beberapa tahun kemudian perusahaanmu bisa 'go public', kamu bisa jadi
investor mayoritas. Dijamin, kamu akan jadi jutawan besar! Percayalah!
Aku ini guru besar di sekolah bisnis terkenal, aku ini ahlinya hal-hal
beginian!"

Dengan takjub, nelayan itu mendengarkan penuturan profesor yang penuh
semangat itu. Ketika profesor selesai menjelaskan, sang nelayan
bertanya, "Tapi Pak Profesor, apa yang bisa saya perbuat dengan uang
sebanyak itu?"

Ups! Anehnya sang profesor belum memikirkan konsep bisnisnya sejauh
itu. Cepat-cepat dia mereka-reka apa yang seseorang bisa lakukan dengan
uang sebanyak itu.

"Kawan! Kalau kamu jadi jutawan, kamu bisa pensiun. Ya! Pensiun dini
seumur hidup! Kamu bisa membeli villa mungil di desa pantai yang indah
seperti ini, dan membeli sebuah perahu untuk berwisata laut pada pagi
hari. Kamu bisa makan bersama keluargamu setiap hari, bersantai-santai
tanpa khawatir apa pun. Kamu punya banyak waktu bersama anak-anakmu,
dan setelah makan malam kamu bisa main gitar dengan teman-temanmu di
warung. Yeaaa, dengan uang sebanyak itu, kamu bisa pensiun dan hidupmu
jadi mudah!

"Tapi, Pak Profesor, kan sekarang ini saya sudah bisa begitu…," lirih
sang nelayan dengan lugunya.

Kenapa kita percaya bahwa kita harus bekerja begitu keras dan menjadi
kaya raya terlebih dahulu, baru kita bisa merasa berkecukupan? Apakah
ada "tujuan yang lebih mulia" dari apa yang Anda lakoni saat ini?
Apakah itu benar tujuan mulia atau sekadar dalih rasa takut untuk
menjadi apa adanya? Untuk merasa berkecukupan, apa sekarang ini tidak
bisa?

Be Good Be Happy!

Wednesday, June 08, 2005

Maafkan Bila Aku Mengeluh

Hari ini, di sebuah bus, aku melihat seorang gadis cantik dengan rambut pirang. Aku iri melihatnya. Dia tampak begitu ceria, dan kuharap aku pun sama. Tiba-tiba dia terhuyung-huyung berjalan. Dia mempunyai satu kaki saja, dan memakai tongkat kayu. Namun ketika dia lewat - tersenyum.

Oh Tuhan, maafkan aku bila aku mengeluh. Aku punya dua kaki. Dunia ini milikku.

Aku berhenti untuk membeli bunga lili. Anak laki-laki penjualnya begitu mempesona. Aku berbicara padanya. Dia tampak begitu gembira. Seandainya aku terlambat, tidaklah apa-apa.Ketika aku pergi, dia berkata, "Terima kasih.Engkau sudah begitu baik. Menyenangkan berbicara dengan orang sepertimu. Lihat saya buta.

"Oh Tuhan, maafkan aku bila aku mengeluh. Aku punya dua mata. Dunia ini milikku.

Lalu, sementara berjalan. Aku melihat seorang anakdengan bola mata biru. Dia berdiri dan melihat teman-temannya bermain. Dia tidak tahu apa yang bisa dilakukannya. Aku berhenti sejenak, lalu berkata, "Mengapaengkau tidak bermain dengan yang lain, nak ?"Dia memandang ke depan tanpa bersuara, lalu akutahu dia tidak bisa mendengar.

Oh Tuhan, maafkan aku bila aku mengeluh. Aku punya dua telinga. Dunia ini milikku. Dengan dua kaki untuk membawa aku ke mana aku mau. Dengan dua mata untuk memandang mentari terbenam. Dengan dua telinga untuk mendengar apa yang inginkudengar.

Oh Tuhan, maafkan aku bila aku mengeluh.

-Anonymous-

Sunday, June 05, 2005

Children

Anak-anakmu adalah bukan anak-anakmu.
Mereka adalah putra-putri kehidupan,
Yang merindukan dirinya sendiri.
Mereka datang melaluimu, namun tidak darimu.
Meskipun mereka bersamamu,
Mereka bukanlah milikmu.
Engkau boleh memberikan cintamu pada mereka,
Tapi tidak pemikiranmu.
Karena mereka memiliki pemikiran mereka sendiri.
Engkau boleh berusaha menyamai mereka,
Namun janganlah berusaha membuat mereka
Sama denganmu.

-Khalil Gibran-

Complain

"Aku mengeluh tidak punya sepatu sampai aku bertemu seseorang yang tidak punya kaki."

Wednesday, June 01, 2005

The Awaken One

Disebutkan bahwa segera sesudah pencerahannya, Buddha bertemu dengan seorang laki-laki di jalan yg terpesona dengan pancaran yg luar biasa dan kedamaian dari kehadirannya. Orang itu berhenti dan bertanya, "Temanku, engkau ini siapa? Apakah engkau mahluk surga, atau dewa?"

"Bukan," jawab Buddha.
"Wah, kalau begitu, engkau gandarwa atau yaksa?"
Lagi Buddha menjawab, "Bukan."
"Apakah engkau seorang manusia?"
"Bukan."
"Jika demikian, Temanku, engkau siapa?"

Buddha menjawab, "Aku orang yg telah bangun."

Buddhist

Life and Death

Ada sebuah kisah di zaman Buddha, tentang seorang wanita muda bernama Kisa Gotami yg mengalami serangkaian tragedi. Pertama, suaminya dan anggota-anggota keluarga dekat lainnya meninggal dunia. Yang tertinggal bersamanya hanya seorang anak laki-lakinya. Lalu, anak itu pun terserang penyakit dan meninggal juga. Ia meratap dgn sedih, membawa jasad anaknya kemana-mana untuk meminta pertolongan, mendapatkan obat-obatan, agar membuatnya hidup kembali, tetapi tentu saja, tak seorang pun yg dapat menolongnya. Akhirnya, seseorang menyarankannya pergi kepada Buddha yg tengah mengajar di dekat hutan kecil. Wanita itu menghampiri Buddha, menangis sedih, dan berkata, "Guru yg mulia, tolonglah agar anak laki-lakiku ini hidup kembali." Buddha menjawab, "Aku akan lakukan itu, tetapi pertama-tama engkau harus berbuat sesuatu untukku, Kisa Gotami. Engkau harus pergi ke desa, dan membawakan untukku segenggam biji lada, dan dengan itu aku akan membuat obat untuk anakmu. Ada satu syarat yg penting," ujar Buddha, "Biji lada itu harus berasal dari rumah yg tak satu pun ada anggota keluarganya yg mati, yg tak satu pun pernah kehilangan anak atau orangtua, suami, istri, atau teman."

Kisa Gotami berlari ke desa dan bergegas mengunjungi rumah pertama, meminta biji lada. "Tolonglah, tolonglah, bolehkah aku memilikinya?" Dan orang-orang yg melihat kesedihannya segera menaggapinya. Tetapi kemudian ia bertanya, "Adakah seseorang di rumah ini yg pernah mati? Apakah itu ibunya, atau anak perempuannya, atau ayahnya, atau anak laki-lakinya?" Mereka menjawab, "Ya. Kami kedatangan kematian di tahun baru lalu." Maka, Kisa Gotami pergi dan berlari ke rumah berikutnya. Lagi mereka memberikan biji lada kepadanya dan lagi wanita itu bertanya, "Apakah ada seseorang di sini yg telah mati?" Kali ini bibinya gadis itu. Dan di rumah berikutnya, anak perempuannya yg mati. Dan begitulah, ia pergi dari rumah ke rumah di desa itu. Tak satu pun rumah tangga yg ia temui yg tak pernah mengenal kematian.

Akhirnya, Kisa Gotami terduduk dengan sedih dan sadar bahwa yg terjadi padanya dan anaknya terjadi juga pada orang lain. Siapa yg lahir akan mati juga. Ia membawa jasad anaknya kembali kepada Buddha. Di sana anaknya dikubur dengan upacara yg layak. Lalu ia bersujud kepada Buddha dan memohon pengajarannya yg membawanya pada kebijaksanaan dan terlindung di alam kelahiran dan kematian ini, dan ia sendiri melaksanakan ajaran-ajaran tersebut dengan sepenuh hati dan menjadi seorang yogi yg besar dan seorang wanita yg bijaksana

Early Buddhist

Visitors

Pada abad yang lalu, seorang turis dari Amerika Serikat mengunjungi seorang Rabbi Polandia yang termashyur, Hafez Hayyim.

Ia terheran-heran melihat rumah sang rabbi hanya sebuah ruangan sederhana yang diisi dengan buku-buku. Perabot yg ada cuma sebuah meja dan sebuah bangku.

"Rabbi, dimanakah perabotan rumahmu?" tanya sang turis.
"Dimanakah milik kamu sendiri?" jawab Hafez.
"Milikku? Tetapi, aku hanya seorang pengunjung disini."
"Begitu juga aku," ujar sang rabbi.

Chassid

Friday, May 20, 2005

24 THINGS TO ALWAYS REMEMBER AND ONE THING TO NEVER FORGET

Your presence is a present to the world.
You are unique and one of a kind.
Your life can be what you want it to be.
Take the days just one at a time.
Count your blessings, not your troubles.
You will make it through whatever comes along.
Within you are so many answers.
Understand, have courage, be strong.
Do not put limits on yourself.
So many dreams are waiting to be realized.
Decisions are too important to leave to chance.
Reach for your peak, your goal and you prize.
Nothing wastes more energy than worrying.
The longer one carries a problem the heavier it gets.
Do not take things too seriously.
Live a life of serenity, not a life of regrets.
Remember that a little love goes a long way.
Remember that a lot goes forever.
Remember that friendship is a wise investment.
Life's treasure are people together.
Realize that it is never too late.
Do ordinary things in an extraordinary way.
Have hearth and hope and happiness.
Take the time to wish upon a start.
AND DO NOT EVER FORGET..FOR EVEN A DAY HOW VERY SPECIAL YOU ARE !

Are we really different ?

Kendatipun memiliki perbedaan-perbedaan filsafat, semua keyakinan agama memiliki tujuan yg serupa. Setiap agama menekankan pengembangan umat manusia. Cinta Kasih, saling menghormati, dan ikut berbagi penderitaan sesama. Dari sisi ini, setiap agama memiliki sudut pandang dan tujuan yang kurang lebih sama.

Agama yg menitikberatkan pada Tuhan yang Mahakuasa, kepercayaan, serta kasih Tuhan, bertujuan untuk memenuhi perintah Tuhan. Memandang kita semua sebagai mahluk ciptaan dan pengikut satu Tuhan, agama-agama tersebut mengajarkan bahwa kita harus menghargai dan menolong satu sama lain. Tujuan utama dari kepercayaan yg mendalam terhadap Tuhan adalah untuk menjalankan perintah-Nya, yg mana intinya adalah untuk menghargai, menghormati, mencintai, dan melayani sesama.

Karena tujuan utama dari berbagai agama itu sama-sama untuk meningkatkan perasaan dan perbuatan yg bermanfaat, maka saya sangat yakin bahwa dari titik pandang ini, tujuan utama dari berbagai penjelasan filosofis adalah sama. Melalui pelbagai tatanan ajaran agama, para pengikut mengambil sikap hidup yg bermanfaat terhadap sesama manusia, yaitu saudara-saudari kita dan masyarakat. Sikap hidup ini telah ditunjukkan oleh begitu banyak umat Kristiani sepanjang sejarah. Banyak di antara mereka yg telah mengorbankan diri untuk kepentingan umat manusia. Ini benar-benar merupakan pengamalan sifat Belas Kasih.

Pada saat ini kami, rakyat Tibet, mengalami masa-masa yg sulit, masyarakat Kristiani dari seluruh dunia ikut menanggung penderitaan kami dan berduyun-duyun menawarkan bantuan. Tanpa melihat perbedaan suku, budaya, agama, dan pandangan hidup, umat Kristiani menganggap kami sebagai sesama manusia dan menawarkan bantuan. Hal ini benar-benar memberikan kami inspirasi yg mendalam sekaligus merupakan pengakuan dari nilai Cinta Kasih.

Cinta Kasih dan kebaikan adalah dasar utama dari masyarakat. Jika kita kehilangan nilai-nilai tersebut, maka masyarakat akan mengalami kesulitan besar. Kelangsungan hidup umat manusia akan terancam. Seiring dengan perkembangan dunia materi, kita memerlukan perkembangan spiritual agar kedamaian batin dan keselarasan sosial dapat tercipta. Tanpa kedamaian batin, tanpa ketenangan batin, akan sulit untuk mencapai kedamaian. Dalam hal pengembangan batin, agama dapat memberikan sumbangan yg penting.

Walaupun setiap agama menekankan Belas Kasih dan Cinta Kasih, namun dari sudut pandang filosofi, tentu saja ada perbedaan. Semua ini tidak menjadi masalah. Ajaran filosofi bukanlah merupakan tujuan, bukanlah akhir, dan bukan pula apa yg Anda perlu capai. Tujuan dari ajaran filosofi adalah untuk menolong dan menguntungkan mahluk lain. Karenanya ajaran filosofi yg mendukung gagasan ini sangatlah bernilai. Tiada gunanya bagi kita untuk mendalami perbedaan-perbedaan filosofi tersebut, serta berdebat dan mengkritik satu sama lain. Hanya akan timbul perdebatan tiada akhir; semua ini hanya menyebabkan kita menyakiti satu sama lain, tidak mencapai apa-apa. Lebih baik bagi kita untuk melihat tujuan dari filosofi-filosofi yang berbeda tersebut dan melihat kesamaannya, yaitu titik berat pada Cinta Kasih, Belas Kasih, dan rasa hormat pada sesuatu yg lebih tinggi.

Pada dasarnya tidak ada agama yg percaya bahwa kemajuan materi semata-mata adalah cukup bagi umat manusia. Semua agama meyakini adanya kekuasaan yg melampaui kemajuan materi. Semuanya juga sependapat bahwa usaha yg sungguh-sungguh untuk melayani umat manusia adalah sangat penting dan bermanfaat.

Untuk melakukan hal ini, penting bagi kita untuk saling mengerti. Pada masa silam, karena kepicikan berpikir dan faktor-faktor lainnya, terkadang terjadi perselisihan antara kelompok agama yg berbeda. Hal seperti ini seharusnya tidak terjadi lagi. Jika kita mendalami nilai suatu agama dalam kerangka situasi dunia, maka kita akan dengan mudah dapat menghindari hal-hal yg tidak diinginkan seperti itu. Ini karena terdapat banyak hal yg sama yg dapat kita pakai untuk membangun kerukunan. Marilah kita bahu-membahu, saling menolong, menghormati, dan mengerti satu sama lain, dalam usaha bersatu untuk melayani umat manusia. Tujuan dari masyarakat manusia seharusnya adalah untuk memajukan manusia dengan penuh Belas Kasih.

Para politisi dan pemimpin dunia tengah mencoba yg terbaik untuk mencapai pengendalian persenjataan dan sebagainya. Semua ini sangatlah berguna. Sementara itu, kita sebagai umat beragama tertentu, memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mengendalikan pikiran sendiri yg buruk. Inilah pelucutan senjata sebenarnya, yaitu pengendalian senjata dalam diri kita sendiri. Tanpa kedamaian batin dan pengendalian penuh terhadap pikiran, maka pengendalian terhadap hal-hal eksternal tidaklah terlalu berguna. Tanpa pengendalian batin, tidak peduli langkah apa pun yg kita ambil, maka pengendalian terhadap hal-hal eksternal tidaklah akan mencapai hasil. Karenanya, dalam situasi dewasa ini, kita dalam masyarakat beragama, memiliki tanggung jawab khusus terhadap semua umat manusia - sebuah tanggung jawab universal.

Situasi dunia saat ini membuat antar-benua sangat bergantung satu sama lain, dan dalam situasi seperti ini, kerja sama yg tulus sangatlah penting. Semua ini bergantung pada motivasi yg baik. Inilah tanggung jawab universal kita.

Dalai Lama - Compassion and Wisdoms

The Way

"Aku tidak memikul siapa pun di bahuku ke arah tujuan akhir. Tak seorang pun yang dapat memikul orang lain di bahunya menuju tujuan akhir. Tak lebih, dengan cinta dan belas kasih, seseorang bisa berkata, 'Nah, ini jalan itu, dan di sinilah aku harus berjalan. Engkau juga bekerja, engkau juga berjalan, dan engkau akan mencapai tujuan akhir.'

Tetapi setiap orang harus berjalan sendiri-sendiri, harus mengambil setiap langkah sendiri di jalan itu. Dia yang mengambil satu langkah di jalan itu, berarti satu langkah lebih dekat pada tujuan. Dia yang mengambil ratusan langkah, berarti ratusan langkah lebih dekat pada tujuan. Dia yang mengambil semua langkah di jalan itu, mencapai tujuan akhir.

Engkau sendiri yang harus berjalan di jalan itu "

Sidharta Gotama

Thursday, May 19, 2005

Kerendahan hati

Sang Iblis menampakkan diri pada seorang rahib dengan menyamar sebagai malaikat bercahaya, dan berkata kepadanya: Aku malaikan Jibril dan aku dikirim untukmu. Tetapi sang rahib berkata kepadanya: Dengar, jangan-jangan engkau dikirim untuk orang lain. Aku pasti tidak patut menerima seorang malaikat yang dikirimkan padaku.

Segera iblis itu menghilang.


Desert Fathers
Stories of the spirit, Stories of the heart
Parables of the spiritual path from around the world
by Christina Feldman and Jack Kornfield

Heaven and Hell

Seorang samurai yg besar dan kekar suatu saat mengunjungi seorang biksu kecil. "Biksu," katanya, dengan suara yg biasanya mengandung ketaatan sesaat, "ajari aku tentang surga dan neraka!"

Biksu itu menatap serdadu yang gagah ini dan menjawab dengan ucapan angkuh, "Mengajarimu tentang surga dan neraka? Aku tak bisa mengajarimu tentang apapun. Engkau kotor. Engkau bau. Pedangmu berkarat. Engkau membawa aib, memalukan kelas samurai saja. Menyingkirlah dariku. Aku tak tahan denganmu."

Samurai itu menjadi gusar. Ia tergetar, seluruh wajahnya memerah, marah tak terkatakan lagi. Ia menghunus pedangnya dan mengacungkannya kepada biksu itu, siap memenggalnya.

"Itulah neraka," kata biksu itu dengan lembut.

Samurai itu tertegun. Belas kasih dan kepasrahan dari orang kecil itu yang menyerahkan hidupnya untuk memberikan pengajaran ini, untuk menunjukkan padanya neraka! Perlahan ia menurunkan pedangnya, merasa bersyukur, dan tiba-tiba ada kedamaian.

"Dan itulah surga," kata biksu itu lembut.

Zen
Stories of the spirit, Stories of the heart
Parables of the spiritual path from around the world
by Christina Feldman and Jack Kornfield